Tempat ini bukan favorit semua orang, tapi di tempat ini kutemukan
perasaan nyaman. Kulihat taksi yang berjejer rapi yang pengemudinya sibuk
dengan urusan masing-masing, dan tampak kios penjual minuman dan aneka cemilan
dengan penerangan lampu seadanya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi
masih saja banyak orang lalu lalang mengais sedikit rezeki di tempat sebelum
pintu masuk jalan tol Jagorawi. Ketika suasana mulai sepi dan sopir-sopir taksi
itu sudah mulai tidur di mobil masing-masing, aku mulai memikirkan
kegelisahanku. Kulihat sejenak motorku yang terparkir tak jauh dari tempatku,
dia tak pernah rewel aku ajak kemana-mana. Lalu kulihat langit, terlihat
bintang yang tersusun membentuk pola tertentu. Seakan kulihat wajah kekasihku
yang tersenyum manis kearahku.
Malam itu adalah malam jum’at yang kata orang “pamali” jika
keluar rumah, tapi pikiranku sedang kalut. Aku seperti merasa telah membakar seluruh kota yang berisi jiwa-jiwa tak
berdosa. Yang ada dipikiranku hanya dia . Dan saking sibuknya dengan lamunanku,
aku tak sadar jika sedari tadi ada pria tua yang memperhatikanku dari jarak
yang tak lumayan jauh. Aku mulai tak nyaman, jangan-jangan dia orang
jahat. Tiba-tiba bapak tua yang kira-kira berumur sekitar 50 tahunan itu menghampiriku
dan mulai membuka pembicaraan.
“Suka tempat
gelap ya Mas?” tanyanya.
“Gak juga, aku
hanya gak suka tempat yang terlalu bising”. Jawabku seadanya, karena aku memang
agak terganggu dengan kedatangannya. Aku lagi ingin sendiri, dan tak mau
mengobrol dengan siapapun.
“Justru ini tempat paling bising di Bogor” tegasnya, seolah
ingin mengajak berdebat.
“Suka-suka bapak aja deh” aku berkata dalam hati, karena
memang aku sudah malas berbicara.
Sejenak suasana menjadi hening, aku sibuk memikirkan
kegelisahanku sendiri. Bapak itu mengeluarkan sebungkus rokok sambil
menawarkanku.
“Tidak, makasih Pak. Aku sudah punya rokok.” tolakku halus.
“Kalau sudah tak punya semangat hidup, cara terbaik yang
kamu lakukan hanya jalan kearah jalan tol itu. Mobil-mobil itu mempunyai
kecepatan tinggi, mungkin kamu tak sempat merasakan sakit saat berada ditengah
jalan itu” ujarnya yang seolah-olah tahu isi pikiranku.
Aku yang awalnya cuek menjadi tertegun, bagaimana dia bisa
tahu kalau aku sedang galau dan nyaris tak punya semangat hidup? Aku mulai
memandang wajahnya, tak lebih tua dari ayahku, dengan kumis lebat dan rambut yang agak acak-acakan. Lalu
sambil menghisap rokok dalam-dalam dia melanjutkan perkataannya
“Berdamailah dengan Tuhanmu dulu, kamu akan temukan jalan
keluarnya” katanya lirih tapi begitu dalam. Belum sempat aku menjawab dia
kembali berkata yang kali ini membuat aku kembali tertegun.
“Setidaknya kamu sudah berusaha membuka jati diri, hal yang
paling sulit dilakukan oleh kebanyakan pria. Itu butuh keberanian yang besar,
walau hasilnya sangat menyakitkan” kali ini kata-katanya sudah sangat gamblang.
“Oke, darimana
bapak tahu? Dan bapak siapa?” aku mulai penasaran dan disertai perasaan ngeri
dengan bapak tersebut, ditambah gelapnya suasana sekitar yang penerangan lampu pun
hanya mengandalkan mobil-mobil yang lewat menuju arah Jakarta.
“Tak usah peduli
saya siapa, saya hanya sopir taksi yang kebetulan sedang istirahat disini”
jawab bapak itu.
Tiba-tiba aku tak
merasa ngeri lagi, justru aku merasa tambah nyaman bertemu bapak misterius itu.
Kulihat seragam perusahaannya yang masih menempel dibadannya. Bukan perusahaan
taksi ternama ternyata.
“Sebenarnya bukan
lagi tak punya semangat hidup, saya hanya kehilangan semangat buat melanjutkan
mimpi-mimpi yang sudah saya rancang Pak” tak terasa aku mulai curhat.
“Yakin deh Mas,
perasaan itu hanya sesaaat. Pergilah ke suatu tempat terbaikmu,Mas akan temukan
sedikit jawaban disana” kata-katanya sangat mengundang gairahku untuk segera
pergi ke suatu tempat yang aku sebut dengan “The Night Bridge” yang terletak di
bilangan Pasar Rebo.
“Mengapa bapak
bisa tahu isi pikiranku? Apa bapak orang “pintar”? Bisa ngusir jin gak?”
tanyaku sudah mulai agak sedikit bercanda.
“Saya hanya sopir
taksi mas, tapi kadang saya sering bertemu dengan orang seperti mas ini. Dari
tadi saya lihat mas seperti kehilangan sesuatu yang penting, dan saya berpikir
mas seperti orang paling kesepian di dunia.” Kata-katanya kali ini membuat saya
terdiam seribu bahasa.
Akhirnya aku
hanya bisa menatap langit dengan tatapan kosong “Saya sudah menyakiti perasaan
seseorang pak, saya sudah melukai hatinya, saya sudah menghancurkan harapannya”.
“Punya perasaaan
bersalah memang menyedihkan, tapi mas sudah mau mengakui kesalahan pada Tuhan,
lalu mengakui kesalahan pada gadismu hanya menunggu waktu. Yakinlah jika memang
dia jodohmu, dia pasti akan kembali”. Imbuhnya, dan kali ini aku sudah tak
peduli dengan bapak tersebut yang sudah terang-terangan tahu semua apa yang
kupikirkan.
“Bagaimana jika
dia tak mau menerima saya lagi?” tanyaku
“Mas hanya perlu
ambil hikmahnya, suatu saat pasti ketemu, cuma mas nya belum tahu saja sekarang.”
ucapnya sangat bijak sekali.
“Apa perlu saya
berhenti mencintai wanita lain, hanya demi membuktikan perasaan bersalah”
“Itu terserah
mas, masa depan adalah pilihan”. Jawabnya singkat seperti sudah memperlihatkan
dia mulai ngantuk.
“Sekarang
pergilah ke tempat dimana menurut mas paling nyaman, dan lihat besok pagi mas
akan mulai bisa tersenyum.” Itu kalimat terakhir yang aku dapat, setelah itu
dia mohon pamit untuk kembali ke mobilnya.
“Hei, saya pernah
kenal suara bapak, anda pernah hadir di mimpi saya beberapa bulan yang lalu?’”
aku langsung menyegatnya saat tiba-tiba aku sangat kenal suara orang itu.
“Ah…saya bukan
siapa-siapa!” kali ini dia yang bersikap cuek dan langsung masuk ke mobil.
Kembali aku
tertegun seorang diri.
Dan sekitar 5
menit aku diam sambil duduk merenungkan semua perkataan bapak tua tadi, lalu
aku pun langsung menuju ke jakarta. Dan benar diatas jembatan ini, aku mulai
menemukan sedikit cahaya kedamaian. Tak ada rasa capek walau habis pulang
kerja, yang ada aku betah berlama-lama di atas jembatan itu. Sambil ditemani
alunan lagu dari Within Temptation dan beberapa potong buah segar yang
penjualnya tak jauh dari tempatku duduk bersama Red Hawk.
“Aku mencintainya
melebihi aku mencintai diriku sendiri. Aku membuatnya kecewa demi satu kebaikan
yang akhirnya hanya menambah luka. Rasa penyesalan ini tak akan pernah hilang, dan
andai aku mengatakannya sejak awal mungkin kisah ini akan berbeda. Tapi
semuanya sudah terlanjur, dan aku juga merasakan sakit yang dia rasakan. Aku
seperti sudah memecahkan sebuah gelas yang walau aku susun kembali pun tak akan
kembali bagus seperti sedia kala. Aku hanya menatap jauh, sambil memikirkan apa
dia baik-baik saja sekarang?”